GE: Six Sigma dan The Welch Way
Tulisan ini tidak ingin membahas secara detail tentang apa itu Six Sigma dan The Welch Way atau bagaimana peran Six Sigma dalam perjalanan perusahaan General Electric. Jika Anda berminat pada tema itu, sudah cukup banyak tulisan yang mengupas hal tersebut, baik dalam bentuk buku maupun artikel-artikel lepas. Coba saja ketik “six sigma” dan cari di search engine seperti Yahoo! Atau Google. Jutaan material akan muncul menunggu di-klik.
Yang ingin dimunculkan adalah, implementasi inovasi tiada henti. Bahkan sebuah perusahaan raksasa dunia seperti General Electric masih merasa perlu melakukan perubahan budaya di tengah keberhasilan mereka. GE tidak sedang kolaps ketika mulai berpikir untuk melakukan perubahan budaya melalui Six Sigma, juga tidak sedang amat terdesak secara bisnis oleh para pesaingnya. GE dalam keadaan baik-baik saja.
Selain GE, perusahaan yang juga identik dengan Six Sigma adalah Motorola. Rasanya, tidak penting juga apakah GE atau Motorola yang pertama kali menemukan metode Six Sigma. Fakta menunjukkan, Motorola pun mengalami kemajuan usaha yang signifikan dalam periode pelaksanaan Six Sigma itu. Apakah karena Six Sigma atau bukan? Sekali lagi, bukan itu yang kita cari jawabannya.
Mengapa perlu melakukan perubahan ketika kondisi sedang stabil? Mengapa harus mencoba sesuatu yang baru ketika tradisi lama sudah cukup memberi bukti keberhasilan? Mengapa “berjudi” dengan struktur organisasi yang “aneh”? Tidakkah mengobrak-abrik posisi akan melemahkan semangat karyawan yang sedang nyaman bekerja? Masih banyak pertanyaan lain berseliweran ketika kita mendengar istilah transformasi atau restrukturisasi organisasi.
Tidakkah pengalaman GE dengan Six Sigma-nya cukup memberikan bukti? Mari kita menengok ke belakang sebentar, memasuki awal 1980-an ketika GE mulai menerapkan benih-benih Six Sigma. Pada 1981 ketika Jack Welch ditunjuk sebagai CEO terbaru GE, perusahaan itu memiliki kapitalisasi pasar sebesar US$ 13 miliar. Ketika memasuki masa akhir tugasnya pada tahun 2000, kapitalisasi pasar GE telah mencapai US$ 500 miliar. Keberhasilan Welch ini begitu terkenal sehingga kini dikenal pula istilah The Welch Way untuk menyebut proses bisnis yang dijalankan Welch.
Jack Welch mengatakan, dirinya menginginkan perubahan landskap kompetisi dengan tidak sekadar menjadi lebih baik dari kompetitor, tetapi dengan menjaga kualitas di seluruh level. Dia ingin GE mampu menciptakan kualitas yang spesial, sangat valuable bagi para pelanggan, produk yang dirasakan begitu penting oleh pasar sehingga menjadi satu-satunya pilihan yang berharga. Hanya organisasi perusahaan yang solid dan matang yang mampu melakukan pekerjaan itu.
Pola pikir Welch inilah yang perlu kita ketahui, optimisme memandang masa depan. Dengan fokus pada perbaikan kualitas diri, keinginan untuk memenangkan hati konsumen dan unggul dalam kompetisi akan tercapai pada akhirnya. Untuk itu, keinginan untuk terus berubah, melakukan inovasi dan tidak alergi terhadap hal baru, harus benar-benar tertanam di dalam hati setiap karyawan. Welch menanamkan nilai, setiap produk yang dihasilkan harus sempurna dengan toleransi nilai kecacatan hanya nol koma sekian!
Ada pandangan jauh ke depan dalam visi kerja Welch. Ketika sistem penilaian kualitas kerja tradisional cenderung fokus ke pendeteksian dan koreksi terhadap kesalahan yang pernah dibuat, Welch berorientasi kepada re-create, penyusunan kembali, proses yang dijalankan perusahaan agar kesalahan itu bisa dicegah dari tempat yang paling awal.
Menurut keyakinan GE, ada tiga kunci utama terkait dengan kualitas, yaitu pelanggan, proses, dan karyawan. Pelanggan adalah pusat dari dunia GE, dan seharusnya menjadi pusat dari semua perusahaan bisnis dimanapun. Setiap langkah yang dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap produk tidak cukup hanya dilakukan dengan penilaian “baik”, tetapi harus sempurna. Jika perusahaan kita tidak melakukannya, maka perusahaan lain pasti akan melakukannya dan menarik perhatian pasar, serta merebut pelanggan kita.
GE meyakini, proses yang terjadi di dalam perusahaan haruslah disesuaikan dengan perspektif pelanggan. Dengan begitu, perusahaan diharapkan dapat menyelami apa yang dillihat dan dirasakan pelanggan. Pengetahuan tentang pelanggan inilah yang bisa memandu perusahaan mengambil langkah-langkah untuk peningkatan nilai. Perubahan regulasi bisnis yang mempengaruhi iklim bisnis akan memberi dampak pula pada posisi tawar pelanggan. Dalam iklim pasar bebas, posisi tawar pelanggan sangat tinggi.
Dalam rangka memenuhi semua kebutuhan pelanggan, GE juga meyakini, seluruh karyawan di semua level tanpa kecuali harus mendapatkan kesempatan yang sama mengembangkan kemampuan mereka. Perusahaan juga dengan serius merancang insentif ataupun reward bagi setiap karyawan yang mampu menunjukkan prestasi, mengeluarkan secara optimal bakat dan energinya untuk memuaskan pelanggan.
Tampak jelas, GE di masa lampau melakukan tranformasi menuju customer centric company. Bahkan hingga kini, mereka tetap sangat meyakini, pelanggan adalah fokus utama setiap gerak mereka. Pelanggan adalah merupakan awal sekaligus akhir dari setiap siklus bisnis mereka. Tidak aneh bila GE selalu berada dalam daftar elite di rangking terbaik perusahaan dunia yang disusun lembaga terkemuka seperti Fortune atau Forbes. Ngomong-ngomong soal Fortune, TELKOM juga punya tekad untuk masuk ke dalam daftar Fortune Global 500 Top Companies. Mengapa tidak belajar dari perusahaan yang langganan berada di Top 10 seperti GE? (BP-135)
Rabu, 17 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar